-->

Minggu, 16 September 2012

Pesan Sebuah Mimpi

May 19, 2010 at 8:35 am (Cerita, Cinta, Hikmah, Kisah Kisah Islam)


“Ayah… baru saja aku mimpi aneh…” Kata istriku yang tiba-tiba terbangun tengah malam.
“Mimpi apa?” tanyaku kemudian.
“Aku didatangi oleh seorang kyai. Tapi tak jelas bagaimana rupanya. Dia berpakaian putih-putih dengan sorban di lehernya. Dalam mimpiku dia mengatakan, kalau kamu ingin anakmu sehat, suruh suamimu puasa tujuh hari penuh. Kira-kira apa maksudnya yha Ayah?”
“Ah… mimpi itu kan bunganya tidur… Bunda mungkin yang belum baca doa sebelum tidur…” jawabku seenaknya. :D
Kemudian istriku melirik jam digital disebelah tempat tidur kami. Sudah menunjukkan pukul 2.45 dini hari. Biasanya kalau sudah terbangun, dia sangat sulit untuk tidur kembali. Kulanjutkan tidurku karena memang aku baru saja tidur dua jam. Entah setelah itu apa yang dilakukan istriku aku tak tahu karena kemudian aku tertidur pulas kembali.


Pernikahanku berjalan kira-kira hampir dua tahun dan istriku kini tengah hamil tujuh bulan. Kondisi yang amat sulit karena memang istriku masih kuliah, sementara aku tak ada pekerjaan tetap. Meskipun kami akan dikarunia anak, kemesraan dengan istriku tak pernah pudar. Dari awal menikah sampai sekarang kami selalu saling memanggil dengan sebutan ‘Ayah-Bunda” ;) :D
Memang dulu aku bertekad untuk menikah muda. TANPA PACARAN, hanya TA’ARUF. Proses begitu cepat dan memang itu yang aku inginkan. Pacarannya setelah menikah. :D Mungkin karena sama2 berjiwa muda, pernikahan kami penuh dengan dinamika. Kadang kami bertengkar hanya masalah sepele, tapi tak berlangsung lama. Sebentar saja sudah baikan kembali. Istriku orang yang sangat tidak betah untuk bertengkar sehingga kalau bertengkar kami segera berbaikan. Itu saran ibuku padanya, dulu ketika kami baru saja menikah. :)
Suatu ketika sakit mag istriku kambuh. Aku tahu penyebab kambuhnya istriku karena kami sama sekali tak punya uang. Jadi istriku hanya menahan lapar hingga magnya kambuh. Kami makan sehari satu kali saja. Dalam kondisi yang panik seperti ini, aku melakukan sholat hajat, memohon pada Allah, apa yang harus aku lakukan?
Tiba-tiba saja ada tetangga sebelah rumah datang memberi oleh-oleh karena baru saja rekreasi ke Bali bersama teman sekantornya. Tanpa basa-basi lagi aku curhat padanya tentang sakit istriku. Tetangga itu bilang disuruh minum air rebusan daun sirsak. Mungkin ini jawaban dari Allah. Segera aku mencari daun sirsak, merebusnya dan meminta istriku untuk segera meminumnya. Setelah meminum ramuan itu beberapa kali, alhamdulillah sakit maag istriku tak pernah kambuh lagi.
Aku harus memutar otak lebih keras bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat menjelang kelahiran anakku yang pertama ini. Keahlianku hanya menulis. Beberapa cerpen yang kukirim ke media massa belum ada jawabannya. 2 Naskah novel yang kubuat belum satupun selesai aku tulis. Ingin sekali aku menjerit menerima keadaan ini, tapi aku tahan dengan menyumpal mulutku sendiri pakai kain sarung. Takut kalau dilihat istriku. Pasti dia akan menyelutuk, “Ayah ini… Kayak orang nggak punya Allah aja.”. Aku bangga padanya. Terus terang, istriku adalah muallaf. Dia masuk islam 3 bulan sebelum menikah denganku. Pengetahuan agamanya memang minim jika dibandingkan dengan aku. Sering aku mengingatkan agar shalat malam dan puasa sunnah. Jujur aja, aku merasa lebih baik dalam hal ini dibandingkan istriku.
Seperti juga malam sebelumnya, istriku bermimpi lagi. Mimpi yang sama dengan malam kemarin. Lelaki tua dengan menggunakan sorban dan berpesan agar aku menjalani puasa selama tujuh hari penuh. Tujuannya juga sama, untuk kesiapan calon jabang bayi kami yang akan lahir beberapa minggu lagi.
Aku hanya menggangguk-angguk saja ketika mendengar celoteh istriku tentang mimpinya. Dalam benakku berpikir, kalau memang pesan itu buatku, kenapa Allah tidak langsung memberikan mimpi itu padaku. Kenapa harus lewat istriku?

Aneh! Keesokan malamnya istriku bermimpi lagi. Mimpi yang sama persis. Laki2 tua itu mengulang kembali perintahnya untukku.
“Ayah… Apa ayah nggak merasa aneh dengan mimpi yang dinda alami ini?” tanya istriku setelah menceritakan kembali mimpinya pagi itu.
“Aneh bagaimana maksud bunda?”
“Kenapa sampai 3 kali aku bermimpi yang sama. Bukankah ini suatu hal yang aneh? Bahkan mimpi yang semalam itu seperti ada ancamannya. Pak kiai mengatakan, ‘Ini peringatan terakhir untuk suamimu agar calon anakmu yang ada dalam kandungan bisa selamat.’ Lebih baik kanda jalankan aja puasa tujuh hari itu. Apa salahnya sih?”
“Tidak!” jawabku sambil sedikit gemetar mendengar penuturan istriku. Sepertinya pesan ini agak serius. Kalau seandainya Allah main-main, kenapa sampai berkali-kali disampaikan pada istriku. Allah tak mungkin main2.
Aku berfikir kembali. Apa salahnya puasa? Toh, puasa juga bisa menyehatkan? Setelah istriku mengatakan tentang mimpinya itu, seketika itu pula aku niatkan untuk berpuasa tujuh hari sesuai dengan permintaan. Aku takut, ini benar-benar perintah Allah dan akan terjadi sesuatu terhadap bayi pertamaku. Aku tak ingin hal hal buruk terjadi pada istri dan bayiku.

Alhamdullillah, tujuh hari sudah aku melewati puasaku dengan penuh. Tapi meskipun aku melakukannya, sebenarnya dalam hati aku kurang bisa menerima perintah itu. Bayangkan saja, dibandingkan dengan istriku yang muallaf, aku jauh lebih agamis, jauh lebih alim, jauh lebih banyak berzdikir dan beribadah. Tapi kenapa perintah itu melalui istriku? Bukan langsung kepadaku. Aku ingin sekali protes, tapi pada siapa?
Dalam kebingungan ini, aku ingin berbagi kisahku ini dengan sahabatku. Kukayuh sepeda onthel ku, satu-satunya alat transportasi yang kupunya, menuju ke rumah sahabatku dulu ketika kami sama2 nyantri di pesantren. Kepadanya aku curhatkan perihal mimpi istriku.
“Apa kamu pernah menghina istrimu?” tanya sahabatku, Ical namanya.
“Ah… yang bener aja Cal… Tak mungkinlah aku lakukan itu.”
“Bukan menghina… mungkin kata-kataku kurang tepat. Ehhmm…. Mungkin lebih mengarah ke meremehkan atau melecehkannya. Entah mungkin kepribadiannya, atau mungkin ibadahnya…”
“Mungkin juga yha… Selama ini memang aku agak meremehkan istriku yang berhubungan dengan ibadahnya…” jelasku kemudian.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Ical lagi.
“Ia malas melaksanakan ibadah sunnah. Dia bukan dari pesantren dan dia memang muallaf.”
“Itulah salahmu!” Dengan tegas Ical menyalahkanku.
“Kok aku yang disalahin?” jawabku tak mau mengalah.
“Menilai seseorang tidak bisa hanya dinilai dari sekedar ibadah formalnya saja. Dan aku yakin, mimpi itu sebenarnya adalah teguran keras dari Allah buatmu.” Tandas Ical.
“Maksudmu? Aku sama sekali tak mengerti?”
“Teguran itu agar kamu tidak merasa sombong lagi dengan merasa sudah melakukan ibadah-ibadah yang sudah engkau lakukan. Bisa jadi istrimu lebih baik dibandingkan dengan kamu dihadapan Allah. Segera kau minta maaf padanya sebelum semuanya terlambat.”
“Terlambat? Apa maksudmu?” tanyaku semakin heran.
“Apa kamu yakin, setelah ini kamu masih hidup? Bagaimana kalau saat ini Allah mencabut nyawamu dan kamu belum sempat minta maaf. Bukan aku mau mengusirmu. Tapi, segera pulang dan minta maaf ke istrimu karena tuduhan-tuduhanmu itu.” Jelas Ical kemudian menutup perbincangan kami.
Saat itu aku merasa lemas, tertunduk malu, menyesal, ingin menangis, semua bercampur aduk jadi satu. Aku merasa bodoh, hina, sombong dan kotor. Tak terasa, air mataku meleleh mengingat akan semua yang terjadi. Rasanya air mata ini, jauh dari cukup untuk menghapus dosa kesombonganku. :( :(
Segera kukayuh sepedaku pulang ke rumah kontrakan. Kulihat istriku sedang membaca sebuah buku tentang kehamilan. Aku langsung mendekat padanya, mencium keningnya dan kemudian mengelus-elus perutnya yang kian membuncit.
“Apa yang anak kita lakukan didalam sini yha Bunda?” tanyaku sambil menempelkan telingaku pada perutnya.
“Bisa jadi dia sedang main bola didalam perutku. Lihat saja. Kakinya nendang2 …” jawab istriku sambil mengelus-elus rambutku. :)
Tiba-tiba aku teringat sahabatku Ical.
“Bunda… maafkan Ayah yha?”
Istriku memandangku dengan alisnya yang menumpuk ke tengah dahi.
“Emang Ayah salah apa sama Bunda ? Kok minta maaf?”
“Ah… tak ada apa-apa. Ayah hanya merasa selama ini punya salah dengan Bunda.”
Aku tak berani lagi berbicara banyak dengannya. Tak kujelaskan tentang pembicaraanku dengan sahabatku. Entah, bagaimana hal ini mulai muncul? Istriku semakin hari ibadahnya semakin baik dibandingkan aku. Dalam kondisi hamil tua-pun dia sempatkan puasa senin-kamis. Sholat malam tak pernah bolong. Bahkan, selesai sholat, kuat sekali dia berdzikir.
Dan ketika saatnya tiba, anakku lahir dengan selamat. Betapa bahagianya aku. Dia lebih mirip istriku. Meskipun hidup kami pas pasan, istriku tak pernah mengeluh. Justru akulah yang kadang menggerutu sendiri. Ya Allah… belum cukupkah hukuman-Mu atas kesombonganku?
Ampuni hamba Ya Robb..^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar